Membangun Karakter Mulia Dengan Energi Sholat
Oleh: Drs. Satuyar Mufid, MA
(الفقير عبد الله مفيد)
Banyak orang berasumsi bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh karakternya, dan pembentukan karakter ditentukan oleh pendidikan dan pembiasaan, begitu seterusnya sampai-sampai berbagai strategi dan metode tentang hal tersebut marak dibahas secara ilmiah dalam berbagai forum dan media.
Dari berbagai perbincangan semua mengarah hanya pada sisi kajian ilmiah. Mungkin jika ada pembicaraan yang tidak ilmiah dianggap aneh. Penilaian itu tidak terlalu salah. Akan tetapi seharusnya dipertimbangkan bahwa tidak semua yang tergolong ilmiah selalu berhasil menjawab persoalan kehidupan, dan sebaliknya yang tidak ilmiah selalu gagal. Ada saja pandangan yang tidak ilmiah justru berhasil menjawab persoalan yang sedang dicari oleh banyak orang, sementara itu yang disebut ilmiah justru hanya menjadi bahan diskusi yang tidak ditemukan ujung pangkalnya.
Sebagai contoh sederhana, betapa banyak orang bertanya dan berusaha mencari jawab terkait cara mengubah perilaku seseorang. Atas pertanyaan itu sudah sedemikian banyak jawaban yang dihasilkan, namun ternyata tidak mampu menyelesaikan persoalan itu. Misalnya, banyak orang percaya bahwa pendidikan bisa mengubah watak, perilaku, atau karakter seseorang. Melalui pendidikan, diyakini bahwa seseorang dapat diubah menjadi jujur, dermawan, tulus, dan ikhlas.
Akan tetapi pada kenyataannya, banyak orang yang telah lama mengenyam pendidikan, tetapi masih saja berbohong, suka menipu, sombong, bakhil, dan sejenisnya.
Contoh lainnya, bahwa para guru sebagai pelaku pendidikan yang dipandang masih harus diawasi, diwajibkan membuat laporan, dilakukan penilaian kembali, dan seterusnya, adalah sebenarnya menunjukkan bahwa kejujuran tidak bisa dibentuk melalui pendidikan.
Demikian pula, banyak pejabat pemerintah, pengelola perusahaan, atau pekerja di bidang apa saja yang mereka itu pasti berpendidikan tetapi masih ditemukan melakukan penyimpangan, korupsi, menyalah-gunakan wewenang, dan lain-lain. Kenyataan tersebut pertanda bahwa lulusan pendidikan setinggi apapun belum menjamin mampu mengubah perilaku seseorang sebagaimana yang diharapkan.
Mengubah watak atau karakter, sebenarnya bisa dilakukan melalui shalat. Namun juga lagi-lagi, pada kenyataannya banyak orang yang sehari-hari menjalankan shalat, tetapi perilakunya tidak mudah dibedakan dari orang yang tidak shalat. Mereka itu masih belum mampu menahan keinginannya dari berebut berbagai jenis kesenangan, seperti kekuasaan, uang, fasilitas, dan lain-lain. Konflik dan permusuhan yang tidak jelas orientasinya masih dilakukan oleh orang yang rajin menjalankan shalat.
Seakan-akan, shalatnya belum menjadi kekuatan untuk menseleksi antara perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan atau yang membahayakan kehidupannya.
Membaca kenyataan tersebut bukan berarti bahwa shalat tidak berhasil mengubah perilaku seseorang, melainkan yang harus dilihat kembali adalah kualitas shalat yang bersangkutan. Shalat yang mampu mengubah perilaku seseorang adalah shalat yang benar-benar khusu’.
Sebagaimana tujuan ibadah puasa adalah agar meraih derajad taqwa. Akan tetapi dinyatakan di dalam Hadits Nabi, banyak orang menjalankan puasa tidak memperoleh dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. Begitu pun shalat, banyak orang menjalankan shalat tetapi tidak memperoleh manfaat dari shalatnya kecuali sekedar menggugurkan kewajibannya.
Selama ini banyak orang berdiskusi, berdebat, dan bahkan berbantah tentang pelaksanaan shalat. Akan tetapi yang dijadikan bahan perbantahan bukan menyangkut hakekat shalat, melainkan baru sebatas teknis pelaksanaan ibadah itu. Misalnya, tentang apakah harus membaca ushalli di setiap mengawali shalat atau tidak, membaca doa qunut atau tidak, cara meletakkan kedua tangannya apakah dijatuhkan jurus atau bersedekap, menggerakkan telunjuk jari ketika membaca tasyahud atau tidak, dan semacamnya. Berdiskusi tentang hal tersebut penting, akan tetapi kiranya ada yang lebih penting lagi adalah terkait hakekat shalat itu sendiri.
Dengan mendasarkan pengertian yang benar maka ibadah tersebut berhasil dijalankan secara tepat dan khusu’.
Seringkali kita mendengarkan penuturan tentang pengalaman orang yang menjalankan shalat. Setelah membaca takbirotul ihram, banyak orang mengaku secara jujur menyebutkan bahwa mereka justru mengingat berbagai hal. Pikiran mereka pergi ke mana-mana yang tidak selalu ada kaitannya dengan shalat.
Di dalam shalat, kita justru ingat berbagai hal, misalnya tentang tugas kuliah, berbelanja, pekerjaan kantor, rumah tangga, dan lain-lain. Shalat yang demikian itu disebut belum khusu’. Shalatnya telah dikerjakan, tetapi belum mendapatkan apa-apa dari ibadah yang dilakukannya itu.
Sebaliknya, seharusnya shalat dilaksanakan dengan khusyu’. Disebut sebagai sholat yang khusyu’, manakala dalam ibadah itu merasakan bertemu dengan Allah dan Rasul-Nya. Shalat yang demikian itulah yang akan menjadi kekuatan untuk mengubah perilaku positif yang bersangkutan.
Allah Swt. berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
“Dan dirikanlah salat, sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain). (Al-‘Ankabut: 45)
Ayat ini menegaskan bahwa salat memiliki kekuatan yang dapat menjadi pencegah diri dari perbuatan keji dan perbuatan munkar. Dapat menjadi pengekang diri dari kebiasaan melakukan kedua perbuatan tersebut dan mendorong pelakunya utk menghindarinya.
Nabi Saw bersabda:
“مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، لَمْ تَزِدْهُ مِنَ اللَّهِ إِلَّا بُعْدًا”
“Barang siapa yang salatnya masih belum dapat mencegah dirinya dari mengerjakan perbuatan keji dan munkar, maka tiada lain ia makin bertambah jauh dari Allah.”
Dengan demikian, shalat yang baik merupakan energi penentu terbentuknya perilaku yang baik pula bagi pelakunya.
والله اعلم بالصواب Semoga kita sekeluarga sehat dan diberi ma’unah oleh Allah Swt untuk menjadi hamba-Nya yang istiqomah shalat, اللهم امين